SOROGAN APALAN JAMA'AH KANTI ISTIQOMAH

Jumat, 23 Maret 2018

UST. M IRCHAM AL-HAFIDZ MUALLIF SAB'ATI


Mari di dengarkan bersama dan mencari perbedaan bacaan.
good luck..
oleh: ust.M Ircham Al-hafidz


Share:

Kamis, 22 Maret 2018

DARUL QUR'AN

(ASRAMA PUTRI)
DARUL QUR'AN

  Khusus pembelajaran Alqur'an beserta ilmu
Tajwid, qiro'ah, tahfidz (dengan metode menghafal),
serta tallaqi (mengaji di depan guru "berhadap-hadapan")
dengan memadukan Qiro'ah sab'ah menggunakan metode sab'ati, di ampu
langsung oleh pakar dan spesialis Al-quran.

   Metode sab'ati adalah metode untuk membaca Qur'an, metode ini di susun oleh ustadz Irham Al-hafidz (pengampu spesialis Al-qur'an)
7 Imam beserta Perawinya, metode ini berisi tentang kaidah-kaidah
pembacaan masing-masing 7 Imam dan para Perawinya.
metode ini sangat mudah sekali untuk di pelajari, hanya dalam waktu
1 minggu kita bisa dapat menguasai dan bisa membaca Qur'an 7 Imam.
untuk informasi lebih jelas silahkan kunjungi fanspagenya
Metode Sab'ati oleh ust.Ircham Al-hafidz )

Share:

Minggu, 18 Maret 2018

BIOGRAFI SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI AL-JAWI


Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Dilahirkan di kampung Tanara, kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang, Banten. Pada tahun 1813 M atau 1230 H. Ayahnya bernama Kyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyara-ras (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Muhammad melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali ZainAl-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra

PERJALANAN INTELEKTUAL
Pada usia lima tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan ayahandanya. Di usia yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimpi ber-main dengan anak-anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut sampai habis. Namun, rasa dahaganya tak kunjung surut. Maka Nawawi bersama teman-temannya beramai-ramai pergi ke laut dan air lautpundiminumnya seorang diri hingga mengering.
Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai peng-gembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur. Namun sebelum berangkat, Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh ibunya, “Kudo’akan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa yang sengaja kutanam ini berbuah.” Demikian restu dan syarat sang ibu. Dan Nawawi kecilpun menyanggupi-nya.
Maka berangkatlah Nawawi kecil menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu menuntut ilmu. Setelah tiga tahun di Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat) khusus belajar lughat (bahasa) beserta dengan dua orang sahabatnya dari Jawa Timur. Namun, sebelum diterima di pondok baru tersebut, mereka harus mengikuti tes terlebih dahulu. Ternyata mereka ber-tiga dinyatakan lulus. Tetapi menurut kyai barunya ini, pemuda yang bernama Nawawi tidak perlu mengu-langi mondok. “Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu sudah menunggu dan pohon kelapa yang beliau tanam sudah berbuah.”Terang sang kyai tanpa memberitahu dari mana beliau tahu masalah itu.
Tidak lama setelah kepulangannya, Nawawi muda dipercaya yang mengasuh pondok yang telah dirintis ayahnya. Di usianya yang masih relatif muda, beliau sudah tampak kealimannya sehingga namanya mulai terkenal di mana-mana. Mengingat semakin banyaknya santri baru yang berdatangan dan asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung, maka kyai Nawawi berinisiatif pindah ke daerah Tanara Pesisir.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan un-tuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji. Disana ia memanfaatkan waktunya untuk mempelajari bebe-rapa cabang ilmu, diantaranya adalah: ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir dan ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Makkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 M dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk mem-bantu ayahnya mengajar para santri.
Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Makkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana. Di Makkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal. Pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Bima, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan2yang keduanya di Makkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Syekh Muhammad Khatib Al-Hambali. Kemudian pada tahun 1860 M. Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid Al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup me-muaskan, karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai syekh disana. Pada tahun 1870 M, kesibukannya bertambah, karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya dan para sahabatnya dari Jawa. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis syarh selain karena permin-taan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering meng-alami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Karya-karya beliau cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia karena karya-karya beliau mudah difahami dan padat isinya. Nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H./19 M. Karena kemasyhurannya beliau mendapat gelar: Sayyid Ulama Al-Hijaz, Al-Imam Al-Muhaqqiq wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, A’yan Ulama Al-Qarn Al-Ram Asyar li Al-Hijrah, Imam Ulama’ Al-Haramain.
Syekh Nawawi cukup sukses dalam mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya banyak yang menjadi ulama kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, diantaranya adalah: Syekh Kholil Bangkalan, Madura, KH. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng Jombang (Pendiri Organisasi NU), KH. Asy’ari dari Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta, KH. Abdul Karim dari Banten.

SYEKH NAWAWI BANTEN SEBAGAI MAHAGURU SEJATI
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan kebanyakan orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzab, Riyadhus Sholihin dan lain-lain. Melalui karya-karyanya yang tersebar di Pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama kyai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejuk-kan. Di setiap majelis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat terkenal.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asy’ari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.

GORESAN TINTA SYEKH NAWAWI
Di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh kehidupan beliau banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar sehingga tak terhitung jumlahnya. Konon saat ini masih terdapat ratusan judul naskah asli tulisan tangan Syekh Nawawi yang belum sempat diterbitkan.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang di-terbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirim-kan manuskripnya dan setelah itu tidak memperduli-kan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur Tengah. Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam, Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada tahun 1870 para ulama universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.
Diantara karya-karyanya adalah:
1.    Muraqah As-Su’ud At-Tashdiq; komentar dari kitab Sulam At-Taufiq.
2.    Nihayatuz Zain; komentar dari kitab Qurratul ‘Ain.
3.    Tausiyah ‘Ala Ibn Qasim; komentar dari kitab Fathul Qarib.
4.    Tijan Ad-Durari; komentar dari kitab Risalatul Baijuri.
5.    Tafsir Al-Munir; yang dinamai Marahi Labidi Li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid.
6.    Sulamul Munajat; komentar dari kitab Safinatus Sholat.
7.    Nurudz Dzalam; komentar dari kitab Aqidatul Awam.
8.    Kasyfatus Saja; komentar dari kitab Safinah An-Naja.
9.    Muraqil Ubudiyyah; komentar dari kitab Bidayatul Hidayah.
10. Uqudul Lujjain fi Bayaniz Zaujain; sebuah kitab yang berisikan tuntutan membangun rumah tangga.
11. Bahjatul Wasa’il; komentar dari kitab Risalatul Jami’ah.
12. Madarij as-Shu’ud; komentar dari kitab Maulid Barjanzi.
13. Salalimul Fudlala’; yang dinilai dengan, Hidayatul Adzkiya.
14. Ats-Tsamarul Yani’ah; komentar dari kitab Riyadhul Badi’ah.
15. Nashailul ‘Ibad; kitab yang berisi nasehat-nasehat para ahli ibadah.
Syeikh Nawawi menghembuskan nafas terakhir di usia 84 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Syawal 1314 H. atau 1897 M. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Rasulullah SAW. Beliau sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara haul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

KAROMAH-KAROMAH SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
1.    Pada suatu malam Syekh Nawawi sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Beliau duduk di atas ‘sekedup’ onta atau tempat duduk yang berada di punggung onta. Dalam perjalanan di malam hari yang gelap gulita ini, beliau mendapat inspirasi untuk menulis dan jika insipirasinya tidak segera diwujudkan maka akan segera hilang dari ingatan, maka berdo’alah ulama ‘alim allamah ini,“Ya Allah, jika insipirasi yang Engkau berikan malam ini akan bermanfaat bagi umat dan Engkau ridhai, maka ciptakanlah telunjuk jariku ini menjadi lampu yang dapat menerangi tempatku dalam sekedup ini, sehingga oleh kekuasaan-Mu akan dapat menulis inspirasiku.” Ajaib! Dengan kekuasaan-Nya, seketika itu pula telunjuk Syekh Nawawi menyala, menerangi ‘sekedup’nya. Mulailah beliau menulis hingga selesai dan telunjuk jarinya itu kembali padam setelah beliau menjelaskan semua penulisan hingga titik akhir. Konon, kitab tersebut adalah kitab Maroqil Ubudiyah, komentar kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghazali.
2.    Ketika tempat kubur Syekh Nawawi akan dibongkar oleh Pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahatnya akan ditum-puki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la) meskipun yang berada di kubur itu seorang raja sekalipun. Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di pemakaman umum Ma’la. Banyak juga kaum muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang Banten.
Syekh Nawawi Al-Bantani mampu melihat dan memperlihatkan Ka’bah tanpa sesuatu alatpun. Cara ini dilakukan oleh Syekh Nawawi ketika membetulkan arah kiblatnya Masjid Jami’ Pekojan Jakarta Kota (SEKARANG). 

Share:

Sabtu, 10 Maret 2018

DARUL USHULI

DARUL USHULI

  Khusus pembelajaran bidang ushul fiqh, di tangani langsung oleh pengasuh (Ust.Zuhurul fuqohak)
pembelajaran ini mengaitkan segala macam disiplin ilmu, seperti Ulumul Quran, Ulumul Hadis, serta ilmu alat (nahwu, shorof, mantiq, balaghoh, tafsir, arudh, Dll) untuk pendalamanya
Share:

DARUL AKHLAK

Darul Akhlak

  Khusus pembinaan santri yang bertargetkan pembenahan akhlak. Ilmu adalah praktek, lebih baik beramal dari pada berilmu tanpa amal.
Di asuh langsung oleh pakar akhlak dengan memadukan unsur tradisional dan modern. Di sini, santri juga akan di fokuskan untuk memperdalam dan mempelajari kitab-kitab yang membahas tentang adab, fiqih sosial, fiqih ibadah, dari berbagai karya-karya ulama seperti Syaikh Ahmad Rifa'i Al-jawi, Imam Ghozali, Imam Nawawi Al-jawi, dll.
Share:

Jumat, 02 Maret 2018

Biografi Pengarang Kitab Fathul Muin

syaikh zainuddin al-malibari

    Salah satu nama yang tidak asing bagi para pelajar mazhab Syafii. Itulah nama bagi pengarang kitab
Fathul Mu’in, sebuah kitab fiqih yang sangat populer bagi kalangan pelajar pertengahan. Kitab Fathul Muin merupakan kitab kurikulum tingkatan menengah di seluruh pesantren di Indonesia dan beberapa negara lainnya.


    Nama lengkap beliau adalah Syeikh Zainuddin Ahmad bin Qadhi Muhammad al-Ghazali bin Syeikh Zainuddin al-Makhdum Kabir bin Syeikh Qadhi Ali bin Syeikh Qadhi Ahmad al-Ma’bari Asy-Syafii al-Asy’ari al-Funnani al-Malaibari.
Beliau dilahirkan di Chombal dalam wilayah Malaibar atau yang sekarang dikenal dengan Kerala, negara bagian bagian barat daya. Dilahirkan tahun 938 H/1532 M.
Imam Zainuddin al-Malaibari berasal dari keluarga al-Makhdum, satu keluarga yang diperkirakan sampai ke Malaibar, India pada abad ke 7 H/15 M. Keluarga ini didirikan oleh Syeikh Qadhi Zainuddin Ibrahim Ahmad yang merupakan paman dari Syeikh Zainuddin Kabir, sang kakek. Keluarga al-Makhdum menjadi panutan bagi masyarakat Ponnan dan Malaibar secara menyeluruh, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga menjadi panutan bagi masyarakat yang bukan muslim. Keluarga la-Makhdum memiliki peran yang besar dalam penyebaran ilmu agama dan ilmu Arabiyah di Negri India. Sampai sekarang keluarga al-Makhdum dikenal sebagai keluarga yang penuh dengan ilmu fiqh, dakwah dan adab. Menurut ahli sejarah, asal usul keluarga al-makhdum berasal dari Negri Yaman. Mereka meninggalkan negrinya dalam rangka berdakwah hingga sampai ke Negri Malaibar.

Sebagian kalangan yang menuliskan biografi beliau, seperti Imam al-Laknawi dalam kitab Nazhatul Khawatir, Syeikh Umar Ridha dalam kitab Mu’jam Muallifin, dan Az-Zarkaly dalam kitab al-A’lam, menyebutkan nama ayah beliau adalah Syeikh Abdul Aziz al-Malaibar. Namun nama ayah beliau yang sebenarnya sebagaimana beliau tulis sendiri dalam kitab beliau al-Ajwibah al-Ajibah ‘an As`ilah al-Gharibah adalah Syeikh Muhammad al-Ghazali. Sedangkan Syeikh Abdul Aziz sendiri merupakan paman Syeikh Zainuddin ini.
Ayah beliau, Syeikh Muhammad al-Ghazali merupakan seorang ulama yang wara’ dan masyhur, ahli dalam ilmu hadits, tafsir dan kalam dan merupakan qadhi di Malaibar Selatan, dan juga merupakan pendiri mesjid jamik Chombal. Ibu beliau juga merupakan seorang wanita shalihah yang berasal dari keluarga yang dikenal keshalihannya.
Kakek beliau yang juga bernama Zainuddin - sehingga dikenal dengan Syeikh Zainuddin Kabir sedangkan cucu beliau dengan Zainuddin Saghir - sangat mencintai ulama sufi terlebih lagi Imam Ghazali, sehingga beliau menamai salah satu anaknya dengan nama Muhammad al-Ghazali yang merupakan ayah dari Syeikh Zainuddin. Kakek beliau memiliki banyak karangan. Salah satunya adalah Nadham dalam ilmu akhlak, Hidayah Atqiya` yang kemudian disyarah oleh anak beliau Syeikh Abdul Aziz al-Makhdumi dengan nama Maslak al-Atqiya wa Manhaj al-Ashfiya, disyarah oleh Saiyid Abu Bakar Syatha dengan nama Kifayatul Atqiya wa Manhaj al-Ashfiya dan juga disyarah oleh ulama Nusantara, Syeikh Nawawi al-Bantani dengan nama Sulam Fudhala’ li Khatimah Nubala`.  Syeikh Zainuddin Kabir juga mengarang nadham yang mengajak umat dan para raja berjihad melawan kafir Portugis.
Syeikh Zainuddin Shagir Memulai membaca ilmu dasar-dasar dalam agama kepada ayahanda dan ibunda beliau. Kemudian beliau menuju ke daerah Ponnan untuk belajar kepada paman beliau Syeikh Abdul Aziz yang mengajar di Mesjid Jamik di sana.

Imam Zainuddin al-Malaibari tidak mencukupkan perjalanan ilmiyah beliau hanya di negrinya saja, namun beliau memperluas rihlah ilmiyah beliau hingga mencapai jazirah Arab dan Hijaz sambil menunaikan ibadah haji dan umrah. Beliau menetap dalam waktu lebih kurang 10 tahun dan berguru kepada beberapa ulama besar di tanah Haramain. Di antara guru-guru beliau di Haramain adalah;


  1.  Syeikhul islam ibnu hajjar al-haitami merupakan guru yang paling beliau cintai sehingga dalam kitab Fathul Muin beliau menyebutkan kata “syaikhuna/guku kami” secara mutlak untuk Ibnu Hajar al-Haitami.
  2. Syeikh Islam Izzuddin Abdul Aziz Az-Zamzami
  3. Syeikhul Islam Abdurrahman bin Zayad, mufti Negri Hijaz dan Yaman
  4. Syeikh Islam Saiyid Abdurrahman ash-Shafawi
  5. Imam Zainul Abidin Abu Makarim Muhammad bin Tajul Arifin Abi Hasan ash-Shiddiqi al-Bakri, yang merupakan murid dari Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari.

Guru beliau, Syeikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami sangat mengagumi kecerdikan Imam Zainuddin. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa Ibnu Hajar al-Haitami pernah mengunjungi Malaibar, India dan menetap beberapa waktu di Mesjid Jamik Ponnani tempat Syeikh Zainuddin mengajar.
Ketika beliau menetap di Haramain, beliau banyak menggunakan kesempatan untuk meminta fatwa kepada beberapa  ulama besar masa itu seperti kepada Syeikh Islam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ar-Ramli (w. 1004 H), Syeikh Muhammad Khatib asy-Syarbini (w. 979 H), Imam Abdullah Bamakhramah (w. 972 H), Imam Abdurrauf bin Yahya al-Makki yang juga murid dari Syeikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami. Pertanyan-pertanyan tersebut beliau kumpulkan dalam satu kitab yang beliau namakan dengan al-Ajwibah al-Ghaliyah fi al-As`ilah al-Gharibah.
Beliau mendapat talqin zikir jali dan khafi dari guru beliau Imam Muhammad bin Abi Hasan al-Bakri dan mengambil thariqat Qadiriyah dari beliau pada tahun 966 H/1587 M, tepat sebelum fajar hari jumat pada 10 Ramadhan.
Diantara ulama besar yang semasa dengan beliau dalam belajar adalah Syeikh Abu Bakar Salim al-Hadhrami, Syeikh Aidarus al-Ahmadiabadi, Imam Mula Ali Qari, Syeikh Ibnu Abdullah Saqqaf al-Hadhrami dll.

Santri-santri beliau.


Syeikh Zainuddin al-Malaibari merupakan salah satu pengkhadam Mazhab Syafii. Beliau mengajar ilmu syar’iyah dan ilmu Arabiyah di Mesjid Jamik Ponnani dalam masa 63 tahun. Dari halaqah beliau ini, lahirlah beberapa ulama besar, antara lain;
1.    Syeikh Abdurrahman al-Makhdum kabir al-Ponani
2.    Syeikh Jamaluddin bin bin Syeikh Usman al-Ma’bari al-Ponnani
3.    Syeikh Jamaluddin bin Syeikh Abdul Aziz al-Makhdum al-Ponnani
4.    Qadhi Usman Labba al-Qahiri
5.    Syeikh Qadhi Usman al-Qahiri
6.    dll

Karangan-karangan beliau.


    Selain mengajar, Syeikh Zainnuddin juga mengarang beberapa kitab dalam bahasa Arab. Di antara karya-karya beliau adalah;
1.    Irsyadul Ibad ila Sabil Rasyad, kitab yang berisi fiqh, aqidah dan tashawuf. Dalam kitab Fathul Mu’in, Syeikh Zainuddin sempat menyebutkan nama kitab Irsyadul Ibad ini.
2.    Ihkam Ahkam Nikah, kitab ini juga sempat beliau singguh dalam fathul muin pada awal kitab Nikah. Kitab ini pernah di cetak di Malaibar
3.    Qurratul ain bi muhimmat ad-din, yang merupakan matan dari Fathul Mu’in. Kitab ini disyarah oleh ulama Nusantara, Syeikh Nawawi al-Bantani dengan nama Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin.
4.    Fathul Muin Syarh Qaurratul ain, kitab ini selesai dikarang tahun 982 H.
5.    Tuhfatul Mujahidin fi ba’dh akhbar Burtughaliyin, berisi tentang kelebihan berjihad dan sedikit sejarah kaum kafir di Malaibar dan sejarah perlawanan umat Islam terhadap penjajah Portugis, kitab ini selesai dikarang tahun 985 H. Kitab ini telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa dunia, sperti Inggris, Spanyol, Jerman, Prancis, Ceska, Persia, Urdu, Tamil, Gujarat dan kanada.
6.    Manhaj al-Wadhih syarah kitab beliau sendiri Ihkam Ahkam nikah, salah satu naskah manuskripnya ada di Universitas malik Suud Saudi Arabiya
7.    al-Ajwibah al-Ajibah ‘an As`ilah al-Gharibah
8.    Mukhtashar Syarah Shudur fi Ahwal al-mauta wal qubur Imam Suyuthi
9.    al-Jawahir fi Uqubah Ahli Kabair
10.    al-Fatawa al-Hindiyah

titel beliau dalam mazhab Syafii.

    Walaupun nama dan pendapat beliau tidak pernah disebut oleh ulama yang membahas seputar masalah perbedaan ulama muta`akhirin Syafii’iyah seperti Syeikh Sulaiman Kurdi, pengarang kitab Fawad Madaniyah fi man Yufta biqaulihi min Muta`akhiri Syafi’iyah, dimana beliau banyak menyebutkan tentang murid Ibnu Hajar al-Haitami yang lain seperti Syeikh Abdurrauf al-Makki, namun Syeikh Zainuddin al-Malaibary mendapat kedudukan yang besar dalam barisan ulama muta`akhirin Syafi`iyah. Hal ini dapat dilihat dari penerimaan dan pujian dari para ulama mazhab Syafii lain terhadap kitab beliau Fathul muin. Kitab Fathul muin dijadikan pelajaran di perbagai negara yang bermazhab Syafii seperti Mesir, India, Indonesia, Malaysia, Makkah, Madinah, Syam, Bagdad, Srilanka dll. Di Aceh, seluruh Dayah menggunakan kitab Fathul Muin dengan Hasyiah I’anah Thalibin sebagai kitab kurikulum setelah kitab Fathul Qarib dan Hasyiah al-Bajuri.
    Dalam kitab Fathul Muin, beliau lebih banyak cenderung kepada tarjih Imam Ibnu Hajar al-Haitami dari pada tarjih Imam Ramli.     Selain dikaji, kitab Fathul Muin juga di beri hasyiah oleh beberapa ulama, di antara hasyiahnya adalah;
1.    I’anathuth Thalibin karangan Saiyid Bakri Syatha. Kitab ini merupakan hasyiah dari fathul muin yang paling populer
2.    I’anathul musta’in syarh ‘ala Fathul muin karangan Syeikh Syahir Ali bin Ahmad bin Sa’id Bashabarin (wa. 1304 H)
3.    Tarsyihul mustafidin syarh ‘ala fath muin karangan Sayyid Alawi bin Saiyid Ahmad as-Saqqaf (w. 1335H/1916 M).
4.    Hasyiah ‘ala Fathul Muin karangan Maulana Ahmad asy-Syirazi al-Malaibari (w. 1326 H) terdiri atas 3 jilid
5.    Hasyiah ‘ala Fathul Muin karangan Syeikh Qanit Syihabuddin Ahmad Kuya asy-Syaliyati (w. 1374 H)
6.    Tansyith al-Muthali’in syarah ‘ala Fath Mu’in, karangan Syeikh Maulawi Ali bin Syeikh Arif billah Maulana Syeikh Abdurrahman an-Naqsyabandi at-Tanuri (w. 13347 H), belum sempurna.
7.    Syarah ‘ala Fath Mu’in karangan Syeikh Maulana Zainuddin al-Makhdumi al-Kahir al-Funnani (w.1304 H), terdiri atas 3 jilid.
8.    Ta’liq Kabir ‘ala Fath Mu’in, karangan Syeikh Ahmad bin Muhammad al-Balankuty (w. 1341 H)
9.    Dll

Anti Penjajahan


Syeikh Zainuddin al-Malibari juga merupakan seorang ulama yang sangat anti kepada penjajahan Portugis kala itu. Beliau sangat mencintai tanah airnya dan berupaya menyadarkan kaumnya akan pentingnya mencintai tanah air. Beliau juga menciptakan nasyid-nasyid yang mendendangkan kecintaan kepada tanah air dan membangkitkan ruh jihad melawan kaum kafir.  Untuk tujuan itu beliau mengarang Kitab Tuhfatul Mujahidin fi Ba’dh Akhbar al-Burtuthaliyin.
Dalam kitab ini beliau menjelaskan sedikit tentang hukum dan dorongan untuk berjihad, sejarah perkembangan Islam di Malaibar, sedikit tentang adat istiadat kaum kafir di Malaibar, dan sejarah masuknya kaum kafir Eropa ke Malibar serta bagaimana buruk dan kejamnya perlakuan mereka terhadap kaum muslimin. Beliau menghadiahkan kitab tersebut kepada Sultan Ali I bin Adil Syah, sultan di India Selatan masa itu.
Kitab ini mejadi sebuah kitab yang sangat bernilai karena menggerakkan perlawanan kepada kaum penjajah Portugis dan juga merupakan kitab pertama yang menceritakan sejarah Malaibar dahulu.
Dalam kitab Tuhfatul Mujahidin, Syeikh Zainuddin al-Maliibar juga menyebutkan bagaimana Portugis menguasai hampir seluruh Kerajaan di Islam di India dan wilayah Asia Tenggara. Beliau menyebutkan beberapa raja Muslim yang mampu merebut kembali benteng-bentang yang dibangun oleh Portugis, diantaranya adalah Sulthan al-Mujahid Ali al-Asyi yang tidak lain merupakan Sultan Kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Ali Mughayat Syah, yang berhasil melepaskan Sumatra dari cengkraman Portugis. [1]

Wafat

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah tentang tahun wafat beliau. Menurut Jirji Zaidan yang diikuti oleh Carl Brockelmann dan az-Zarkali, beliau wafat tahun 987 H/1579 M. Namun pendapat ini sanga tidak tepat, karena dalam kitab Tuhfatul Mujahidin, Syeikh Zainuddin al-Malibari juga menceritakan kejadian-kejadian yang terjadi pada tahun 991 H/1583 M. Menurut pendapat yang kuat, beliau meninggal tahun 1028 H sebagaimana disebutkan oleh ahli sejarah India, Syeikh Muhammad Misliyar dalam kitabnya, Tuhfatul Akhyar fi Tarikh Ulama Malaibar.
Beliau dimakankan di dekat mesjid Jamik di Kungippalli, propinsi Chombal berdampingan dengan kubur istri beliau. Kubur beliau diziarahi oleh kaum muslim dari berbagai daerah.
Share:

Kamis, 01 Maret 2018

ALBUM PONDOK




Share:

PROGRAM PDF AD-DAHLANIYYAH

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

KITAB KITAB

KITAB KITAB
karangan KH.Rois Yahya Dahlan dan putranya

Translate